lafadz serta pemakaiannya, hakikat, majas, sharih, dan kinayah

sumber: https://duniacemoro.wordpress.com/2012/09/20/ushul-fiqh-ii-lafadz-serta-pemakaiannya-hakikat-majas-sharih-dan-kinayah/




  1. Lafadz
Lafadz menurut bahasa artinya merata, atau yang umum. Sedangkan menurut istilah ialah lafadz yang meliputi pengertian umum, terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafadh  itu. 
Dengan pengertian lain, lafadz adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas.
Lafadz terbagi menjadi dua, yaitu lafadz umum dan lafadz khusus.

  1. Lafadz umum
Lafadz umum sebagaimana di sebutkan dalam buku ushul fiqh yang di karang oleh Syaiful Hadi yaitu lafadz yang mengikuti pengertian umum lebih dari satu tampa terbatas dan disebut dengan sekaligus, seperti lafadz al insan yang berarti manusia. Dan perkataan ini menjadi contoh yang sangat jelas yang meliputi pengertian umum, jadi semua jenis manusia masuk dalam lafadz ini[1].
Lafadz juga dapat didefinisikan sebagai pernyataan verbal tentang suatu gagasan. Lafadz  adalah bunyi yang diartikulasikan dan befungsi sebagai simbol atau tanda gagasan. Lafadz biasanya bersifat konvensional dan dapat dipahami sebagai sebuah gagasan atau segugus gagasan yang dinyatakan dalam wujud kata-kata. Kita membentuk gagasan atas dasar pemahaman kita terhadap benda-benmda yang kita ketahui melalui daya tangkap panca indera. Gagasan ini selanjutnya direalisasikan dalam wujud kata-kata atau lafadz[2].
Sedangkan  lafadz umum di bagi menjadi empat yaitu jama’, lafadz mufrod, isim mufham, dan isim nakiroh.
a)      Jama’ adalah lafadz yang menunjukan makna lebih dari dua, Kata jamak (plural) yang disertai alif dan lam di awalnya. Seperti:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ
          
Artinya: “Para ibu (hendaklah) menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi  orang yang ingin menyempurnakan penyusuannya”. (Al-Baqarah:233)
Kata al-walidat dalam  ayat tersebut bersifat  umum  yang  mencakup setiap yang bernama atau disebut ibu.

b)      Lafadz mufrod ialah Kata benda tunggal yang di ma’rifatkan dengan alif-lam.
Contoh:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
 Artinya: “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Al_baqarah: 27)

 Lafadz  al-bai’ (jual beli) dan al-riba adalah kata benda yang di ma’rifatkan dengan alif lam. Oleh karena itu, keduanya adalah lafadz umum yang mencakup semua satuan-satuan yang dapat dimasukkan kedalamnya.

c)      Isim mufham ialah isim yang menunjukan arti yang masih samar, isim ini terbagi menjadi lima diantaranya
  • Maa (مَا)
  • Man (مَنْ)
  • Ayya ()
  • Aina ()
  • Mataa ()


d)     Isim nakiroh dalam susunan kalimat naïf seperti contoh  kata لَا جُنَاحَ dalam ayat berikut:
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
“dan tidak ada dosa atas kamu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya”. (Al-Mumtahanah:10).

  1. Lafadz khusus
Khas ialah lafadz yang menunjukkan arti yang tertentu, tidak meliputi arti umum, dengan kata lain, khas itu kebalikan dari `âm ( umum ). Menurut istilah, definisi khas adalah:
 “Al-khas adalah lafadh yang diciptakan untuk menunjukkan pada perseorangan tertentu, seperti Muhammad. Atau menunjukkan satu jenis, seperti lelaki. Atau menunjukkan beberapa satuan terbatas, seperti tiga belas, seratus, sebuah kaum, sebuah masyarakat, sekumpulan, sekelompok, dan lafadh-lafadh lain yang menunjukkan bilangan beberapa satuan, tetapi tidak mencakup semua satuan-satuan itu”.
Lafazh yang terdapat pada nash syara’ menunjukkan suatu makna tertentu dengan pasti selama tidak ada dalil yang mengubah maknanya itu. Menurut Hanafiyah, “sesungguhnya lafaz khas sepanjang telah memiliki arti secara tersendiri, berarti ia sudah jelas dan tegas dengan ketentuan lafazh-lafazh itu sendiri”.

                 Dalalah khas menunjuk kepada dalalah qath’iyyah terhadap makna khusus yang dimaksud dan hukum yang ditunjukkannya adalah qath’iy, bukan dzanniy, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada makna yang lain. Misalnya, firman Allah:
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ
Tetapi jika ia tidak menemukan binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji..(Al-Baqaarah :196)


2.      Hakikat
Hakikat ialah lafadz yang di gunakan pada asal peletakannya, Seperti : Singa (أسد) untuk suatu hewan yang buas. Maka keluar dari perkataan kami : (المستعمل) “yang digunakan” : yang tidak digunakan, maka tidak dinamakan hakikat dan majaz. Dan keluar dari perkataan kami : (فيما وضع له) “ pada asal peletakannya” : Majaz.Dan hakikat terbagi menjadi tiga macam : Lughowiyyah, Syar’iyyah dan ‘Urfiyyah.Hakikat lughowiyyah adalah :
اللفظ المستعمل فيما وضع له في اللغة
“Lafadz yang digunakan pada asal peletakannya secara bahasa.”
Maka keluar dari perkataan kami : (في اللغة) “secara bahasa” : hakikat syar’iyyah dan hakikat ‘urfiyyah.
Contohnya : sholat, maka sesungguhnya hakikatnya secara bahasa adalah doa, maka dibawa pada makna tersebut menurut perkataan ahli bahasa.
Hakikat syar’iyyah adalah :
اللفظ المستعمل فيما وضع له في الشرع
“Lafadz yang digunakan pada asal    peletakannya   secara syar’i.”
Maka keluar dari perkataan kami : (في الشرع) “secara syar’i” : hakikat lughowiyyah dan hakikat ‘urfiyyah.
Contohnya : sholat, maka sesungguhnya hakikatnya secara syar’i adalah perkataan dan perbuatan yang sudah diketahui yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, maka dibawa pada makna tersebut menurut perkataan ahli syar’i.


Hakikat ‘urfiyyah adalah :
اللفظ المستعمل فيما وضع له في العرف
“Lafadz yang digunakan pada asal peletakannya secara ‘urf (adat/kebiasaan).”
Maka keluar dari perkataan kami : (في العرف) “secara ‘urf” : hakikat lughowiyyah dan hakikat syar’iyyah.
Contohnya : Ad-Dabbah (الدابة), maka sesungguhnya hakikatnya secara ‘urf adalah hewan yang mempunyai empat kaki, maka dibawa pada makna tersebut menurut perkataan ahli ‘urf.
Dan manfaat dari mengetahui pembagian hakikat menjadi tiga macam adalah : Agar kita membawa setiap lafadz pada makna hakikat dalam tempat yang semestinya sesuai dengan penggunaannya. Maka dalam penggunaan ahli bahasa lafadz dibawa kepada hakikat lughowiyyah dan dalam penggunaan syar’i dibawa kepada hakikat syar’iyyah dan dalam penggunaan ahli ‘urf dibawa kepada hakikat ‘urfiyyah.
3.      Majas

اللفظ المستعمل في غير ما وضع له
“Lafadz yang digunakan bukan pada asal peletakannya.”Seperti : singa untuk laki-laki yang pemberani.
Maka keluar dari perkataan kami : (المستعمل) “yang digunakan” : yang tidak digunakan, maka tidak dinamakan hakikat dan majaz. Dan keluar dari perkataan kami : (في غير ما وضع له) “bukan pada asal peletakannya” : Hakikat.Dan tidak boleh membawa lafadz pada makna majaznya kecuali dengan dalil yang shohih yang menghalangi lafadz tersebut dari maksud yang hakiki, dan ini yang dinamakan dalam ilmu bayan sebagai qorinah (penguat).
Dan disyaratkan benarnya penggunaan lafadz pada majaznya : Adanya kesatuan antara makna secara hakiki dengan makna secara majazi agar benarnya pengungkapannya, dan ini yang dinamakan dalam ilmu bayan sebagai ‘Alaqoh (hubungan/ penyesuaian), dan ‘Alaqoh bisa berupa penyerupaan atau yang selainnya.
Maka jika majaz tersebut dengan penyerupaan, dinamakan majaz Isti’arah (استعارة), seperti majaz pada lafadz singa untuk seorang laki-laki yang pemberani.
Dan jika bukan dengan penyerupaan, dinamakan majaz Mursal (مجاز مرسل) jika majaznya dalam kata, dan dinamakan majaz ‘Aqli (مجاز عقلي) jika majaznya dalam penyandarannya.
Contohnya dari majaz mursal : kamu mengatakan : (رعينا المطر) “Kami memelihara hujan”, maka kata (المطر) “hujan” merupakan majaz dari rumput (العشب). Maka majaz ini adalah pada kata.


Dan contohnya dari majaz ‘Aqli : Kamu mengatakan : (أنبت المطر العشب) “Hujan itu menumbuhkan rumput”, maka kata-kata tersebut seluruhnya menunjukkan hakikat maknanya, tetapi penyandaran menumbuhkan pada hujan adalah majaz, karena yang menumbuhkan secara hakikat adalah Allah ta’ala, maka majaz ini adalah dalam penyandarannya.
Dan diantara majaz mursal adalah : Majaz dalam hal penambahan dan majaz dalam hal penghapusan.
Mereka memberi permisalan majaz dalam hal penambahan dengan firman Allah ta’ala :
ليس كمثله شئ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya” (QS. Asy-Syuro : 11)
Maka mereka mengatakan : Sesungguhnya (الكاف) “huruf kaaf” adalah tambahan untuk penguatan peniadaan permisalan dari Allah ta’ala.
Contoh dari majaz dengan penghapusan adalah firman Allah ta’ala :
وسئل القرية
“Bertanyalah kepada desa” (QS. Yusuf : 82)
Maksudnya : (واسأل أهل القرية) “bertanyalah pada penduduk desa”, maka penghapusan kata (أهل) “penduduk” adalah suatu majaz, dan bagi majaz ada macam yang sangat banyak yang disebutkan dalam ilmu bayan.
Dan hanya saja disebutkan sedikit tentang hakikat dan majaz dalam ushul fiqh karena penunjukan lafadz bisa jadi berupa hakikat dan bisa jadi berupa majaz, maka dibutuhkan untuk mengetahui keduanya dan hukumnya. Wallahu A’lam[3].           

4.      Sharih
Sharih adalah lafadz yang tidak memerlukan penjelasan. menurut abdul azhim bin badawi al-khalafi, bahwa yang dimaksud dengan sharih adalah suatu kalimat yang langsung dapat dipahami tatkala diucapkan dan tidak mengandung makna lain[4].

Jadi bahwa lafal sharih adalah talak yang diucapkan dengan tegas yang perkataan tersebut bermaksud dan bertujuan menjatuhkan talak seperti kata talak atau cerai. Adapun Contoh lafaz yang Sharih diantaranya:
a.           Aku ceraikan kau dengan talak satu.
b.           Aku telah melepaskan (menjatuhkan) talak untuk engkau.
c.           Hari ini aku ceraikan kau

Jika suami melafazkan talak dengan mengunakan kalimah yang “Sharih” seumpama di atas ini, maka talak dikira jatuh walaupun tanpa niat. Hal ini, senada dengan pendapat imam Syafi’i dan Abu Hanifah, beliau berkata bahwa talak sharih tidak membutuhkan niat.

5.      Kinayah

Kinayah adalah lafadz yang memerlukan penjelasan. menurut Jumhur Ulama  kinayah adalah suatu ucapan talak yang diucapkan dengan kata-kata yang tidak jelas atau melalui sindiran. Kata-kata tersebut dapat dikatakan lain, seperti ucapan suami “pulanglah kamu”. Sementara Kinayah pula membawa maksud kalimah yang secara tidak langsung yang mempunyai dua atau lebih pengertiannya. Umpamanya jika suami melafazkan kepada isterinya perkataan, sebagai contah kinayah sebagai berikut:

a.         Kau boleh pulang ke rumah orang tua mu.
b.         Pergilah engkau dari sini, ke mana engkau suka.
c.         Kita berdua sudah tidak ada hubungan lagi. 

Mengenai talak kinayah ini, para ulama tidak terjadi perbedaan pendapat mengenai akibat hukumnya, diantaranya pendapat-pendapat yang diungkapkan para ulama seperti halnya Mazhab Hanbali mereka berpendapat bahwa talak dengan ucapan kinayah sekiranya suami melafazkan kepada isterinya dengan niat menceraikannya maka jatuh talak. Selain itu Jumhur Ulama berpendapat bahwa ucapan talak kinayah akan jatuh talaknya apabila dengan adanya niat.



Talak dengan cara kinayah tidak jatuh kecuali dengan niat seperti yang diterangkan di atas, kecuali apabila seorang suami dengan tegas mentalak tetapi ia berkata: saya tidak berniat dan tidak bermaksud mentalak, maka talaknya tetap jatuh. Apabila seorang menjatuhkan talak secara kinayah tanpa maksud mentalak maka tidak jatuh talaknya, karena kinayah memiliki arti ganda (makna talak dan selain talak), dan yang dapat membedakanya hanya niat dan tujuan.
Ibnu Taimiyah r.a berpendapat bahwa talak tidak berlaku kecuali dia menghendakinya. Beliau berargumen bahwa amal perbuatan dalam Islam tidak dinilai kecuali dengan adanya niat. Misalkan seseorang mengerjakan aktivitas shalat dari takbir sampai salam tetapi tidak meniatkan untuk shalat, maka shalatnya tidak sah. Contoh yang lain, seseorang melakukan sahur dan makan ketika maghrib, tetapi dia tidak niat untuk syiam (puasa), maka amal dia ini tidak dianggap sebagai amalan syiam. Orang duduk di masjid tanpa niat i’tikaf maka dia tidak bisa disebut melakukan ibadah i’tikaf.


BAB III
KESIMPULAN

Jadi Lafadz bisa di simpulkan menurut bahasa artinya merata, atau yang umum. Sedangkan menurut istilah ialah lafadz yang meliputi pengertian umum, terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafadh  itu.           
Dengan pengertian lain, lafadz adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas.
Hakikat ialah lafadz yang di gunakan pada asal peletakannya, Seperti : Singa (أسد) untuk suatu hewan yang buas. Maka keluar dari perkataan kami : (المستعمل) “yang digunakan” : yang tidak digunakan, maka tidak dinamakan hakikat dan majaz. Dan keluar dari perkataan kami : (فيما وضع له) “ pada asal peletakannya”
Majas ialah “Lafadz yang digunakan bukan pada asal peletakannya.”Seperti : singa untuk laki-laki yang pemberani.
Maka keluar dari perkataan kami : (المستعمل) “yang digunakan” : yang tidak digunakan, maka tidak dinamakan hakikat dan majaz. Dan keluar dari perkataan kami : (في غير ما وضع له) “bukan pada asal peletakannya”
Sharih adalah lafadz yang tidak memerlukan penjelasan. menurut abdul azhim bin badawi al-khalafi, bahwa yang dimaksud dengan sharih adalah suatu kalimat yang langsung dapat dipahami tatkala diucapkan dan tidak mengandung makna lain[5].


Kinayah adalah lafadz yang memerlukan penjelasan. menurut Jumhur Ulama  kinayah adalah suatu ucapan talak yang diucapkan dengan kata-kata yang tidak jelas atau melalui sindiran. Kata-kata tersebut dapat dikatakan lain, seperti ucapan suami “pulanglah kamu”. Sementara Kinayah pula membawa maksud kalimah yang secara tidak langsung yang mempunyai dua atau lebih pengertiannya.


EmoticonEmoticon