Haqiqat & Majaz dan Sharih dan Kinayah
Penulis
: Yakin Soleh NIM 100 211 0333 (Mahasiswa
Jurusan Syari’ah, Prodi Ahwal Asy-Syakhshiyyah, STAIN Palangka Raya,
Dipresentasikan dalam diskusi kelas pada semester genap tahun
2012) dan Diedit kembali oleh Abdul Helim
Pendahuluan
Dalam pandangan Para ulama Ushul Fiqh mengklasifikasi lafaz (kata) dari segi
pemakaiannya menjadi dua: hakikat (denotatif) dan majaz (konotatif). Mengenai
kata dengan makna hakikat, tidak dipertentangkan lagi keberadaannya dalam
Alquran. Kata yang seperti ini paling banyak ditemukan dalam Alquran. Adapun
makna majāzi, keberadaannya dalam Alquran masih debatable di kalangan para
ulama. Jumhur Ulama berpendapat kata dengan makna majaz terdapat dalam Alquran.
Namun, segolongan ulama seperti mazhab Ẓahiriyyah, Ibnu Qāis dari Syafi’iyyah,
Ibnu Khuwaiz Mindad dari Malikiyyah, dan sebagainya tidak mengakui
keberadaannya dalam Alquran. secara sederhana, hakikat dan sharih adalah kata
yang menunjukkan makna asli/jelas, tidak ada indikator yang mendorong untuk
menggunakan makna majaz, kināyah, atau tasybīh (yang tidah jelas). Kata
tersebut mempunyai makna tegas tanpa dipengaruhi adanya pendahuluan (taqdīm)
dan pengakhiran (ta’khīr) dalam susunannya.Dari penjelsan singkat di atas,
penulis akan memaparkan pengertian hakikat dan majaz, pembagian majas, cara
menentukan lafal hakikat/majaz, ketentuan yang berkaitan hakikiat/majas dan
penyebab tidak berlakunya hakikat/majaz serta pengertian shari/kinayah.
A.
Hakikat
dan Majaz
1.
Pengertian
Hakikat
Secara etimologi, hakikat merupakan dari kata haqqa yang berarti
tetap. Ia bisa bermakna subjek (fā’il); sehingga memiliki arti ‘yang tetap’
atau objek (maf’ūl),yang,berarti‘ditetapkan’.[1]
Pengertian Hakikat adalah suatu lafas yang digunakan menurut
asalnya untuk maksud tertentu. Umpamanya kata (kursi) menurut asalnya memang
digunakan untuk tempat tertentu yang memiliki sandaran dan kaki, tapi saat ini
kata kursi dapat diartikan kekuasan, namun tujuan semula kata kursi bukan itu,
tempat duduk.[2]
Menurut Ibnu Subki menyatakan bahwa hakikat adalah lafaz yang digunakan untuk
apa lafaz itu ditentukan pada mulanya. Ibnu Qudamah mendefinisikannya sebagai
lafaz yang digunakan untuk sasarannya semula. Sementara Al-Sarkhisi berpendapat
bahwa hakikat adalah setiap lafaz yang ditentukan menurut asalnya untuk hal tertentu.[3]
Menurut Amir Syarifuddin, semua penjelasan tersebut mengandung makna
terminologis tentang haqiqah, yaitu suatu lafaz yang digunakan menurut asalnya
untuk maksud tertentu.
2.
Pengertian
Majaz
Pengertian Majaz adalah suatu lafad yang
digunakan untuk menjelaskan suatu lafad pada selain makna yang tersurat di
dalam nash atau teks, karena adanya persamaan atau keterkaitan baik antara
makna yang tersurat di dalam teks maupun maksud yang terkandung di dalam teks
tersebut.[4]
Penelitian lebih rinci lagi telah dilakukan oleh Amir Syarifuddin
yang dimanifestasikan dalam bukunya Ushul Fiqh.[5] Di
sana, ia mengemukakan beberapa definisi. Pertama, As-Sarkhisi mendefinisikannya
sebagai nama untuk setiap lafaz yang dipinjam untuk digunakan bagi maksud di
luar apa yang ditentukan. Kedua, Ibnu Qudamah: lafaz yang digunakan bukan untuk
apa yang ditentukan dalam bentuk yang dibenarkan. Ketiga, Ibnu Subki
berpendapat majaz adalah lafaz yang digunakan untuk pembentukan kata kedua
karena adanya keterkaitan.
Dari ketiga definisi tersebut beliaumenyimpulkan rumusan definitif
majaz, yaitu:
a.
Lafaz
itu tidak menunjukkan kepada arti yang sebenarnya sebagaimana yang di kehendaki
suatu bahasa.
b.
Lafaz dengan bukan menurut arti sebenarnya itu
dipinjam untuk digunakan dalam memberikan arti kepada apa yang dimaksud.
c.
Antara sasaran dari arti lafaz yang digunakan
dengan sasaran yang dipinjam dengan lafaz itu memang ada kaitannya.[6]
3.
Macam-macam
Majaz
Adapun Majaz Dari segi pembentukannya, bisa dibedakan menjadi 4
bagian antara lain sebagai berikut:
a.
Adapun
tambahan dari susunan kata menerut bentuk yang sebenarnya.
Cotahnya: menambahkan makna yang berarti ‘seperti’ dalam surat
asy-syara ayar 11, tidak ada seperti semisal sesuatupun, tanpa kata itupun
sebenarnya tidak mengurangi atrinya.[7]
b.
Adanya
kekurngan dalam suatu kata dari yang sebenarnya dan kebenaran dari lafas itu
terletak pada yang kurang itu.
Contohnya: dalam surat yusuf
ayat 82,’ tanyakan kampung itu’ secara makna kakikat adalah tanyalah penduduk kampung itu. Adanya kekurangan
kata ‘penduduk’ dalam kata ‘kampung’ itu menjadikannya sebagai majaz.
c.
Mendahulukan
dan membelakangkan atau dalam pengertian ,menukar kedudukan suatu kata.[8]
Contahnya: dalam surat an-nisa ayat 11. Sesudah mengeluarkan
wasiatnya dan membayar hutangnya. Maksud sebenarnya’ sesudah mnbayar hutang dan
mengeluarkan wasiatnya.
d.
Meminjamkan
kata atau isti’arah adalah menambahkan sesuatu dengan menggunakan
(peminjamkan) kata lain
Contohnya membri nama si A penberani deng an singa.
4.
Cara
Mengetahui Lafas Hakikat dan Majaz
Pada dasarnya, dalam percakapan cenderung digunakan kata dengan
makna hakikat, kecuali jika ada sesuatu hal yang memaksa pembicara untuk
menggunakan makna majaz. Untuk itu, pentinglah kiranya melakukan verifikasi
apakah pembicara menggunakan makna majaz atau hakikat sehingga jelaslah
perbedaan keduanya.[9]
Dalam mengatahui majaz dan hakikat dapat dilakukan dengan dua cara;
normativitas teks atau istidlāl.
Melalui normativitas teks dapat diketahui secara lugas dari
pembicara yang menjelaskan bahwa ini adalah majaz sedangkan ini hakikat atau
dengan menyatakan ini kata dipakaikan pada tempatnya sementara ini dipakaikan
pada selaintempatnya.
Dengan cara istidlāl, dapat diketahui melalui beberapa cara sebagai
berikut:
a.
Makna
hakikat dapat difahami secara langsung oleh pendengar (tabādur al-ẓihni)
sementara makna majaz tidak demikian.[10]
b.
Suatu
kata yang bermakna majāzi dapat menerima term negatif (nafi), sementara pada
waktu dan kata yang sama, hakikat tidak menerimanya.
c.
Diskontinuitas
pada majaz, dalam artian jika suatu kata majaz telah dipakaikan pada suatu
kondisi, maka tidak lagi bisa dipakaikan pada yang lain. Seperti kata nakhlah
yang berarti pohon kurma dipinjam untuk menjelaskan arti ‘laki-laki yang
tinggi’, maka tidak lagi dipakaikan pada objek yang lain.[11]
d.
Hakikat
berlaku pada makna global sementara majaz lebih parsial sebagaimana pada contoh
“was’al al-qaryah” di atas.
e.
Hakikat
menerima derifasi kata, seperti kata “amara” yang bisa menjadi “ya’muru” dan
sebagainya. Jika tidak dapat dipecah sebagaimana di atas, seperti kata “amru”,
maka ia adalah majaz.[12]
f.
Jika
terdapat perbedaan antara term plural dengan singular, maka salahsatunya adalah
majaz.[13]
g.
Sebuah
kata itu hakikat apabila ada ketergantungan makna kepada yang lain (ta’alluq).
Sebagai contoh kata qudrah, apabila dimaksudkan dengannya ‘sifat kekuasaan’,
maka ia mempunyai ketergantungan makna kepada objek yang dikuasai.[14]
Namun, pada opsi kedua ia juga bisa berarti objek kekuasaan secara langsung,
seperti tumbuhan atau ciptaan lainnya, sehingga ia tak lagi mempunyai
ketergantungan makna (ta’alluq) kepada yang lainnya. Selain itu, pada dasarnya
kata hakikat dapat diketahui secara simā’i dari orang yang berbahasa.[15]
Ia tidak dapat diketahui dengan analogi (qiyās) sebagaimana biasa dilakukan
dalam fiqh dan ushul fiqh. Sementara majaz dapat diketahui melalui usaha
mengenal kebiasaan orang arab dalam penggunaan isti’ārah.
5.
Ketentuan Yang Berkaitan Hakikat dan Majaz
Keterkaitan-keterkaitan
yang menjadi syarat penggunaan Hakikat dan Majaz antara lain:
a.
Adanya keserupaan, yakni pengumpulan sifat tertentu antara makna
hakikat dan makna majaz dalam satu lafad, contohnya adalah pada saat nabi
hijrah dari Makkah ke Madinah yang diiringi dengan shalawat badar.[16] Pada contoh tersebut menunjukan bahwa ada pengumpulan sifat
tertentu yakni terangnya cahaya pada bulan bulan purnama dan wajah Nabi
Muhammad SAW.
b.
الكون artinya adalah menamakan atau memaknai suatu
lafad sesuai dengan sifat yang melekat padanya, seperti pada ayat al-Qur’an:
“Dan berikanlah kepada
anak yatim (yang sudah baliqh) harta mereka”
Ayat
di atas didasarkan pada ayat al-Qur’an yang lain pada surat an-Nisa ayat 6.
(#qè=tGö/$#ur 4’yJ»tGuŠø9$# #Ó¨Lym #sŒÎ) (#qäón=t/ yy%s3ÏiZ9$# ÷bÎ*sù Läêó¡nS#uä öNåk÷]ÏiB #Y‰ô©â‘ (#þqãèsù÷Š$$sù ö Nçlm;ºuqøBr&
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka lebih cerdas, maka serahkanlah hartanya”. (QS.an-Nisa’:6).
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka lebih cerdas, maka serahkanlah hartanya”. (QS.an-Nisa’:6).
c.
ألأول adalah menamakan sesuatu sesuai dengan takwil
atau penjelasan yang akan terjadi pada masa yang akan datang, seperti pada
contohnya mimpi Nabi Yusuf .as
إنّى أرَانِى أعْصِرٌ خَمْرًا
“Sesungguhnya aku mimpi, bahwa aku memeras anggur. (QS.Yusuf:36)
“Sesungguhnya aku mimpi, bahwa aku memeras anggur. (QS.Yusuf:36)
d.
ألإستعداد
adalah menamakan atau memaknai sesuatu sesuai dengan kekuatan,
hitungan-hitungan atau pertimbangan-pertimbangan. Yang mana hal tersebut untuk
menjelaskan adanya pengaruh tertentu pada sesuatu tersebut. Contohnya adalah
pada kalimat racun itu mematikan, maksudnya adalah racun itu sangat kuat sekali
dalam menyebabkan kematian.[18]
e.
ألحلول adalah menjelaskan maksud suatu keadaan
dengan menyebutkan tempatnya, seperti pada ayat al-Qur’an: واسأل القرية
(يوسف:82)
.
maksud dari ayat ini adalah bertanyalah kepada penduduk desa tersebut.
maksud dari ayat ini adalah bertanyalah kepada penduduk desa tersebut.
f.
ألجزئية وعكسها
adalah menjelaskan maksud suatu keadaan dengan menyebutkan tempatnya dan
menyebutkan keseluruhan untuk menjelaskan sebagiannya saja.[19]
Contohnya pada ayat تبت يدا أبى
لهب maksud ayat di sini bukan hanya tangan Abu
Lahab saja yang harus bertaubat, tetapi juga seluruh jiwa dan raganya.
g.
ألسببية adalah menyebutkan sebab dari suatu hal,
sedang yang dimaksud adalah musabbabnya ataupun sebaliknya.[20]
Contoh pertama adalah فلان أكل دم
أخيه (sebab), maksud di sini adalah diat atau
denda bagi seseorang yang telah membunuh saudaranya (musabab).
Contoh kedua adalah إعْتَدِي (kamu dalam masa `iddah) (musabab), maksud di sini adalah kamu saya talak, karena `iddah adalah musabab dari wanita yang ditalak (sebab).
Contoh kedua adalah إعْتَدِي (kamu dalam masa `iddah) (musabab), maksud di sini adalah kamu saya talak, karena `iddah adalah musabab dari wanita yang ditalak (sebab).
6.
Penyebab
Tidak Berlaku Hakikat dan Majaz
Sebagaimana disampaikan di atas, pada dasarnya, kata yang digunakan
dalam percakapan adalah hakikat dan tidak boleh beralih kepada majaz kecuali
bila ada qarinah.[21]
Namun dalam beberapa hal tidak digunakan kata bermakna hakikat, dalam keadaan
berikut:
a.
Adanya petunjuk penggunaan secara ‘urfi dalam
penggunaan lafaz yang menghendaki meninggalkan makna hakikat, seumpama kata
shalat yang berarti doa. Pada kenyataannya, secara ‘urfi kata tersebut tidak
lagi digunakan sesuai dengan makna hakikatnya, sebagai doa, melainkan menjadi
suatu bentuk ibadah tertentu.
b.
Adanya
petunjuk lafaz, seumpama kata daging yang pada hakikatnya mencakup seluruh
daging. Namun, berikutnya kata daging dengan makna hakikat tersebut tidak lagi
digunakan, ia mengecualikan daging ikan dan belalang, sehingga keduanya tidak
lagi disebut daging.[22]
c.
Adanya
petunjuk berupa aturan dalam pengungkapan suatu ucapan, sehingga meskipun
diucapkan dengan cara lain walaupun dalam bentuk hakikatnya, harus dikembalikan
kepada aturan yang ada walaupun berada di luar hakikatnya. Seumpama firman
Allah; surat al-Kahfi: 29
شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر إنا أعتدنا للظالمين نارا
شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر إنا أعتدنا للظالمين نارا
Secara hakikat, ayat di atas memberikan pilihan untuk beriman
ataupun kafir. Namun, dengan adanya kalimat ancaman di belakangnya, maka
kalimat ini tidak lagi difahami secara hakikat, melainkan dengan arti lain
yaitu keharusan beriman kepada Allah.[23]
d.
Adanya
petunjuk dari sifat pembicara. Meskipun si pembicara mengungkapkan sesuatu
sesuai haqiqah-nya, namun dari sifatnya dapat diketahui bahwa sebenarnya ia
tidak menginginkan apa yang dibicarakannya tersebut.
e.
Adanya
petunjuk tentang tempat atau sasaran pembicaraan. Dalam beberapa kondisi,
terdapat petunjuk tempat yang menghalangi pemahaman secara hakikat.[24]
Umpanya firman Allah; al-Fāṭir: 19
وما يستوي الأعمى والبصير Ketidaksamaan pada kalimat tersebut pada hakikatnya menyangkut semua hal, namun jika diperhatikan arah pembicaraan ayat di atas, maka ia hanya berlaku untuk hal-hal yang ada kaitannya dengan penglihatan. Hal ini berarti pemahaman dengan haqiqah terhalangi.
وما يستوي الأعمى والبصير Ketidaksamaan pada kalimat tersebut pada hakikatnya menyangkut semua hal, namun jika diperhatikan arah pembicaraan ayat di atas, maka ia hanya berlaku untuk hal-hal yang ada kaitannya dengan penglihatan. Hal ini berarti pemahaman dengan haqiqah terhalangi.
B.
Sharih
dan Kinayah
1.
Pengertian
Sharih
Sharih adalah
lafadz yang tidak memerlukan penjelasan. menurut
abdul azhim bin badawi al-khalafi, bahwa yang dimaksud dengan sharih adalah
suatu kalimat yang langsung dapat dipahami tatkala diucapkan dan tidak
mengandung makna lain.[25]
Jadi bahwa lafal sharih adalah talak yang diucapkan dengan tegas
yang perkataan tersebut bermaksud dan bertujuan menjatuhkan talak seperti kata
talak atau cerai. Adapun Contoh lafaz yang Sharih diantaranya:
a.
Aku ceraikan kau dengan talak satu.
b.
Aku telah melepaskan (menjatuhkan) talak
untuk engkau.
c.
Hari ini aku ceraikan kau
Jika suami melafazkan talak dengan mengunakan kalimah yang
"Sharih" seumpama di atas ini, maka talak dikira jatuh walaupun tanpa
niat. Hal ini, senada dengan pendapat imam Syafi’i dan Abu Hanifah, beliau
berkata bahwa talak sharih tidak membutuhkan niat.[26]
Selan itu, Jumhur Ulama’ sepakat berpendapat bahwa Talak yang
sharih ialah lafaz yang jelas dari segi maknanya dan kebiasaannya membawa arti
talak. Contohnya, seorang suami berkata kepada isterinya, “Saya ceraikan
engkau”.[27]
Lafaz tersebut memberi kesan jatuh talak walaupun tanpa niat.
Sebagaimana pendapat para ulama diatas, bahwa yang dikatakan talak sharih didalam pengucapanya terdapat tiga perkataan seperti halnya yang disebutkan oleh Imam Syafi’i dan segolongan fuqaha Dzahiri. Diantaranya adalah talak (cerai), firaq (pisah), sarah (lepas). Maka apabila seorang suami megucapkan salah satu dari ketiga kata tersebut maka jatuhlah talak terhadap istrinya.[28]
Sebagaimana pendapat para ulama diatas, bahwa yang dikatakan talak sharih didalam pengucapanya terdapat tiga perkataan seperti halnya yang disebutkan oleh Imam Syafi’i dan segolongan fuqaha Dzahiri. Diantaranya adalah talak (cerai), firaq (pisah), sarah (lepas). Maka apabila seorang suami megucapkan salah satu dari ketiga kata tersebut maka jatuhlah talak terhadap istrinya.[28]
2.
Pengertian
Kinayah
Kinayah adalah lafadz yang memerlukan penjelasan. menurut Jumhur Ulama kinayah adalah suatu ucapan talak yang diucapkan
dengan kata-kata yang tidak jelas atau melalui sindiran. Kata-kata tersebut
dapat dikatakan lain, seperti ucapan suami “pulanglah kamu”.[29]
Sementara Kinayah pula membawa maksud kalimah yang secara tidak langsung yang
mempunyai dua atau lebih pengertiannya. Umpamanya jika suami melafazkan kepada
isterinya perkataan, sebagai contah kinayah sebagai berikut:
a.
Kau
boleh pulang ke rumah orang tua mu.
b.
Pergilah
engkau dari sini, ke mana engkau suka.
c.
Kita
berdua sudah tidak ada hubungan lagi.
Mengenai talak kinayah ini, para ulama tidak terjadi perbedaan
pendapat mengenai akibat hukumnya, diantaranya pendapat-pendapat yang
diungkapkan para ulama seperti halnya Mazhab Hanbali mereka berpendapat bahwa
talak dengan ucapan kinayah sekiranya suami melafazkan kepada isterinya dengan
niat menceraikannya maka jatuh talak. Selain itu Jumhur Ulama berpendapat bahwa
ucapan talak kinayah akan jatuh talaknya apabila dengan adanya niat.[30]
Talak dengan cara kinayah tidak jatuh kecuali dengan niat seperti
yang diterangkan di atas, kecuali apabila seorang suami dengan tegas mentalak
tetapi ia berkata: saya tidak berniat dan tidak bermaksud mentalak, maka
talaknya tetap jatuh.[31]
Apabila seorang menjatuhkan talak secara kinayah tanpa maksud mentalak maka
tidak jatuh talaknya, karena kinayah memiliki arti ganda (makna talak dan
selain talak), dan yang dapat membedakanya hanya niat dan tujuan.
Ibnu Taimiyah r.a berpendapat bahwa talak tidak berlaku kecuali dia
menghendakinya.[32]
Beliau berargumen bahwa amal perbuatan dalam Islam tidak dinilai kecuali dengan
adanya niat. Misalkan seseorang mengerjakan aktivitas shalat dari takbir sampai
salam tetapi tidak meniatkan untuk shalat, maka shalatnya tidak sah.[33]
Contoh yang lain, seseorang melakukan sahur dan makan ketika maghrib, tetapi
dia tidak niat untuk syiam (puasa), maka amal dia ini tidak dianggap sebagai
amalan syiam. Orang duduk di masjid tanpa niat i'tikaf maka dia tidak bisa
disebut melakukan ibadah i'tikaf.[34]
C. Kesimpulan
Secara etimologi, hakikat merupakan dari kata haqqa yang berarti
tetap. Berarti ditetapkan Pengertian Hakikat adalah suatu lafas yang digunakan
menurut asalnya untuk maksud tertentu. Pengertian Majaz adalah suatu lafad yang digunakan untuk menjelaskan suatu lafad pada
selain makna yang tersurat di dalam nash atau teks. Majaz Dari segi pembentukannya, bisa dibedakan menjadi 4 bagian: 1
Adapun tambahan dari susunan kata menerut bentuk yang sebenarnya. 2. Adanya
kekurngan dalam suatu kata dari yang sebenarnya dan kebenaran dari lafas itu
terletak pada yang kurang itu. 3. Mendahulukan dan membelakangkan atau dalam
pengertian ,menukar kedudukan suatu kata. 4. Meminjamkan kata atau isti’arah
adalah menambahkan sesuatu dengan menggunakan (peminjamkan) kata lain.
Untuk itu, pentinglah kiranya melakukan verifikasi apakah pembicara
menggunakan makna majaz atau hakikat sehingga jelaslah perbedaan keduanya. Dalam
mengatahui majaz dan hakikat dapat dilakukan dengan dua cara; normativitas teks
atau istidlāl. Keterkaitan-keterkaitan yang menjadi syarat
penggunaan Hakikat dan Majaz seperti: Adanya keserupaan, menamakan atau memaknai suatu lafad sesuai, menamakan
sesuatu sesuai dengan takwil, menamakan atau memaknai sesuatu sesuai dengan
kekuatan, menjelaskan maksud suatu keadaan dengan menyebutkan tempatnya, dan menyebutkan
sebab dari suatu hal. Namun dalam beberapa hal tidak digunakan kata
bermakna hakikat dan majaz dalam keadaanantarala lain: Adanya petunjuk
penggunaan secara ‘urfi dalam penggunaan lafaz, Adanya petunjuk lafaz, Adanya
petunjuk berupa aturan dalam pengungkapan suatu ucapan, Adanya petunjuk dari
sifat pembicara dan Adanya petunjuk tentang tempat atau sasaran pembicaraan.
Sharih adalah
lafadz yang tidak memerlukan penjelasan. Jadi
bahwa lafal sharih adalah talak yang diucapkan dengan tegas yang perkataan
tersebut bermaksud dan bertujuan menjatuhkan talak seperti kata talak atau
cerai. Disebutkan oleh Imam Syafi’i dan segolongan fuqaha Dzahiri Diantaranya
lafal sharih adalah talak (cerai), firaq (pisah), sarah (lepas). Maka apabila
seorang suami megucapkan salah satu dari ketiga kata tersebut maka jatuhlah
talak terhadap istrinya. Kinayah adalah lafadz yang
memerlukan penjelasan. Sementara Kinayah pula membawa maksud kalimah
yang secara tidak langsung yang mempunyai dua atau lebih pengertiannya,
seperti: Kau boleh pulang ke rumah orang tua mu. Apabila
seorang menjatuhkan talak secara kinayah tanpa maksud mentalak maka tidak jatuh
talaknya, karena kinayah memiliki arti ganda (makna talak dan selain talak),
dan yang dapat membedakanya hanya niat dan tujuan, misalnya seseorang
mengerjakan aktivitas shalat dari takbir sampai salam tetapi tidak meniatkan
untuk shalat, maka shalatnya tidak sah.
DAFTAR PUSTAKA
Arufin Miftahul dan A. Faisal Haq. Ushul Fiqih : Kaidah-kaidah
Pentapan Hukum Islam, Cet. I, Surabaya: Citra Media, 1997.
Bakry, Sidi Nasa, Fiqh dan Ushul
Fiqh, Cet. IV, Jakarta: PT. RajaGrafindo Perseda, 2003.
Bakry, Nazar, Fiqih dan Ushul
Fiqih, Cet. IV, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003.
Djazuli
A dan 1 Nurol Aen, Ushul Fiqh (Metode Hukum Islam), Cet. 1, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2000.
Effendi, Satria, Ushul Fiqih, Jakarta:
Kencana, 2008.
Karim, Syafi’i, Fiqih-Ushul Fiqih, Cet.
II, Bandung: Pustaka Satia, 2001.
Syarifudin, Amir, Ushul Fiqih,
Jilit 2, Cet. V, Jakatra: Kencana, 2008.
EmoticonEmoticon