Jawabannya adalah bertahap. Ketika Kiai Ahmad Dahlan membuka Muhammadiyah untuk pengembangan paham global, dengan cara mengajarkan huruf Latin dan bahasa Belanda, sehingga generasi berikutnya makin akrab dengan ”Pandora” yang tengah disiapkan penjajah Belanda maka bibit-bibit perubahan masuk.
“Akibat dari sikap membuka diri itu maka benteng tradisi Muhammadiyah otomatis lemah. Ibarat perang dengan sepenuh tawakal, menyerang dengan tanpa menyusun pertahanan. Adat-istiadat pun akhirnya dapat dihilangkan, dan setelah kulit luar itu terkelupas maka bagian isi pun bisa dicampuri dan kemudian bisa diubah. Fiqih mazhab Syafi’i pun lama-lama tanggal,” tutur Ali Shodiqin. (bersambung)
EmoticonEmoticon