Salah satu aspek kemukjizatannya
adalah aspek bahasa.
Bahasa Al-Quran diakui oleh para pakar memiliki gay
a bahasa yang sangat indah.
Di dalamnya terdapat keharmonisan dalam pemilihan k
ata baik dari segi jumlah
maupun ketepatan maknanya.
Salah satu aspek gaya bahasa yang cukup menarik un
tuk dikaji adalah
kinayah
. Di dalam al-Quran terdapat ayat-ayat yang mengan
dung aspek
kinayah,
jumlahnya cukup beragam sesuai dengan tinjauan dan
analisa dari masing-masing
para ahli. Menurut Wahbah Zuhaili (al-Munir,1991:10
) terdapat tujuh puluh satu
2
ayat
kinayah
dalam al-Quran. Sedangkan as-Shobuny (Shafwatut-
Tafasir,1986:25) menyebutkan terdapat sekitar enam
puluh empat ayat.
Ayat-ayat al-Quran yang mengandung aspek
kinayah
merupakan salah
satu jenis ayat yang cukup pelik dan krusial di kal
angan para mufassir. Pada ayat
ini para mufassir sering berbeda pendapat mengenai
makna yang dikandungnya.
Perbedaan penafsiran tersebut karena secara teoriti
k wacana kinayah bisa
ditafsirkan secara
hakiki
(denotatif) maupun
majazi
(konotatif) (Bakry Syaikh
Amin,1982:153).
Pada ayat-ayat
kinayah
yang berkaitan dengan hukum atau keimanan
ayat-ayat tersebut mempunyai implikasi yang besar p
ada pemaknaannya, sehingga
jenis ayat ini telah menjadi wacana paling menarik
dan sulit dipertemukan di
antara madzhab-madzhab besar baik dalam bidang fiqh
maupun aqidah.
Kesulitan para mufassir dalam mempertemukan kedua
madzhab
penafsiran tersebut (madzhab denotatif dan madzhab
konotatif) karena masing-
masing madzhab mempunyai sandaran, baik dari al-Qur
an maupun al-Hadits.
Masing-masing madzhab kadang-kadang mempunyai argum
en yang sama
validitasnya.
Untuk itu diperlukan tinjauan lain yang dapat mem
berikan kejelasan tafsir
yang sesungguhnya dari ayat tersebut. Tinjauan lain
yang akan dicoba oleh
peneliti adalah tinjauan dari aspek kaidah ilmu
balaghah
. Bagaimana ilmu ini
menempatkan ayat
kinayah
dalam konteks hermeneutikanya. Bagaimana
ungkapan-ungkapan
kinayah
ditafsirkan dalam praktek berbahasa pada umumnya.
Apakah mengambil makna konotatif atau denotatif.
Ditemukannya kecenderungan umum penggunaan makna t
ertentu pada
ungkapan-ungkapan
kinayah
akan bisa membantu memahami jenis ayat tersebut
dalam al-Quran. Penelitian ini diharapkan dapat mem
berikan alternatif pemecahan
dalam menafsirkan ayat-ayat
kinayah
yang selama ini telah memunculkan
berbagai madzhab penafsiran baik di bidang hukum ma
upun aqidah.
Dari paparan di atas muncullah pertanyaan, ‘ Bagai
mana hakikat makna
kinayah dalam al-Quran ? ‘. Pertanyaan penelitian t
ersebut dapat dirinci sbb :
3
Berapakah jumlah ayat
kinayah
dalam al-Quran?; Bagaimana perkembangan
makna
kinayah
dalam kitab-kitab tafsir?; Ayat
kinayah
manakah di dalam al-
Quran yang sering menjadi perselisihan di kalangan
para mufassir dan ulama?;
Apakah yang menyebabkan para mufassir berbeda penda
pat dalam memahami
ayat-ayat
kinayah
?; dan bagaimana implikasi hasil dari penelitian in
i terhadap
pengajaran mata kuliah Balaghah?
B. Kajian Pustaka
1. Hakikat Kinayah dan Kategorisasinya
Ilmu
balaghah
(retorika bahasa Arab) membahas tiga kajian utama.
Ketiga
bidang kajian tersebut masing-masing dibahas dalam
ilmu
ma’ani
(pragmatik),
ilmu
bayan
(kajian gaya bahasa), dan ilmu
badi’e
(stilistika).
Kinayah
merupakan salah satu bahasan dari kajian ilmu
bayan
. Kedua
bahasan lainnya dari ilmu tersebut adalah
tasybih
dan
majaz
.
2. Perkembangan Konsep Kinayah
Dalam ilmu
bayan
(kajian gaya bahasa Arab) terdapat tiga model
pengungkapan ujaran. Pertama
, tasybih
yaitu penyerupaan sesuatu dengan
sesuatu yang lain karena ada titik persamaan. Pada
model ini
thorofain
(kata yang
diserupakan dan kata yang diserupai) disebutkan den
gan jelas. Contoh :
أنت كالأسد
فى الشجاعة
(Engkau bagaikan singa dalam keberaniannya). Pada m
odel pertama ini
musyabbah
(kata yang diserupakan)
yaitu kata ‘
أنـت
‘ dan
musyabbah bih
(kata
yang diserupai) yaitu kata ‘
الأسد
‘ keduanya disebutkan.
Kedua
, majaz
yaitu model pengungkapan seperti pada
tasybih
, akan tetapi
salah satu dari
thorofain
-nya dihilangkan, baik itu
musyabbah
(kata yang
diserupakan) atau
musyabbab bih
(kata yang diserupai). Contoh :
يخطب الأسد أمـام
الممـبر
(Singa itu sedang berpidato di atas mimbar : maks
udnya, orang yang
4
pemberani seperti singa sedang berpidato di atas mi
mbar). Pada model ini
musyabbah
-nya yaitu kata ‘
الرجل
‘ dihilangkan.
Ketiga,
kinayah
yaitu model pengungkapan yang memiliki arti konota
tif.
Kinayah memiliki kesamaan dengan majaz karena kedua
nya bermakna konotatif.
Perbedaannya adalah kinayah bisa difahami atau meng
andung makna denotatif.
Sedangkan pada majaz tidak diperbolehkan mengambil
makna denotatif.
Menurut al Hasyimy (t.t :345)
kinayah
secara leksikal bermakna
tersirat
.
Sedangkan secara terminologi kinayah adalah suatu u
jaran yang maknanya
menunjukkan pengertian pada umumnya (konotatif), ak
an tetapi bisa juga
dimaksudkan untuk makna denotatif. (Hasyimy, t.t :
345)
Definisi di atas merupakan definisi terkini yang d
isepakati oleh para pakar
balaghah. Sebelum definisi di atas terdapat pengert
ian
kinayah
yang dikemukakan
oleh para pakar yang menunjukkan sejarah perkemban
gan istilah tersebut.
Istilah
kinayah
dalam khazanah ilmu balaghah untuk pertama kaliny
a
diperkenalkan oleh Abu Ubaidah pada tahun
209 H di dalam kitabnya
Majazul Quran
. Menurut pendapatnya,
kinayah
dalam istilah ahli bahasa
khususnya para ahli
nahwu
(tata bahasa Arab) bermakna
dhomir
(kata ganti).
Beliau mencontohkan pengertian tersebut di dalam ki
tabnya dengan ayat-ayat
sbb:
حتى توارت بالحجاب
)
ص
:
32
(
]
[
Sampai ( kuda yang kau cintai) itu hilang dari
pandanga
كل من عليها فان
[
Segala yang ada di bumi akan hancur
]
Pada ayat pertama Allah menjadikan dhomir mustatir
(kata ganti yang tidak
ditampakkan) sebagai
kinayah
dari kata ‘
الشـمس
‘. Sedangkan pada ayat kedua
Allah menjadikan dhomir (
هـا
) sebagai
kinayah
dari kata “
الأرض
“. Menurut
beliau,
kinayah
berarti suatu kata yang
tidak disebut secara jelas pada suatu teks kalimat.
(Abdul Aziz Atiq,1985:204)
5
Sedangkan al-Jahidz (255 H.) mendefinisikan
kinayah
dengan
makna yang
tersirat.
Dalam pandangannya,
kinayah
merupakan kebalikan dari
fasahah
dan
sarih
(kata-kata yang jelas maknanya). Dengan pengertian
ini dia telah
mendefinisikan
kinayah
secara umum. Dia tidak membedakan istilah
tasybih,
majaz,
dan
kinayah
.
Linguis lainnya yang mencoba membahas masalah
kinayah
adalah murid
al-Jahidz, yaitu Muhammad bin Yazid Al-Mubarrid (28
5 H.). Beliau membahas
masalah ini dalam kitabnya
al-Kamil
. Dalam kitab tersebut beliau mendefinisikan
kinayah
dengan tiga pengertian.
Pertama
, untuk menutupi makna yang
sebenarnya,;
kedua
, untuk mengagungkan; dan
ketiga
untuk menghindari kata-
kata yang kotor.
Pengertian
kinayah
juga dikemukakan oleh Quddamah bin Ja’far. Di
dalam bukunya
Naqdusy Syi’ri
dia menjelaskan,
kinayah
adalah ungkapan yang
bermakna
irdaf
(mencari kata-kata lain yang semakna dengan kata-ka
ta
dimaksud). Dia mencontohkan penggunaan ungkapan “
بعيدة مهـوى القـرط
“ yang
terdapat dalam sebuah syair. Ungkapan tersebut mer
upakan pengganti dari
ungkapan “
طـول العنـق
“. Kedua ungkapan tersebut memiliki makna yang sa
ma.
(Quddamah,t.t:113)
Konsep
kinayah
sedikit mengalami kesempurnaan pada masa Abul Husa
in
Ahmad bin Faris (395 H.). Di dalam kitabnya
As-Shohiby
dia berpendapat,
dengan melihat tujuannya
kinayah
mempunyai dua jenis, yaitu
kinayah
taghtiyah
dan
tabjil
.
kinayah
jenis pertama digunakan untuk menyebut sesuatu den
gan
menutupi namanya sebenarnya agar terlihat baik da
n indah. Pengungkapan
seperti ini bertujuan untuk memulyakan orang atau
sesuatu yang disebutnya.
Sedangkan
kinayah
jenis kedua bertujuan agar orang atau sesuatu yang
disebutkan
terhindar dari kehinaan, seperti ungkapan “
أبو فلان
“.
3. Kategorisasi Kinayah
6
Kinayah
dalam kajian ilmu balaghah mempunyai beberapa ka
tegori.
Jenis-jenis tersebut dapat dilihat dari dua aspek.
Pertama
, dari aspek
mukna
‘anhunya
(kata-kata yang dikinayahkan);
kedua
, dari aspek
wasait
(media) nya.
Para pakar balaghah membagi
kinayah
dari aspek
mukna anhu-
nya
menjadi tiga jenis :
Pertama,
kinayah sifat.
Kinayah sifat
adalah pengungkapan sifat tertentu secara tidak
jelas,
melainkan dengan isyarat atau ungkapan yang dapat m
enunjukkan kepada
maknanya yang umum. Istilah sifat di sini berbeda
dengan istilah sifat yang
terdapat pada ilmu nahwu (tata bahasa Arab). Sifat
sebagai salah satu
karakteristik
kinayah
mempunyai makna sifat dalam pengertian maknawinya
,
seperti kedermawanan, keberanian, panjang, keindaha
n, dan sifat-sifat lainnya.
Sifat di sini merupakan lawan dari dzat. (Bakri Sya
ikh Amin, 1982 : 159)
Kinayah
sifat menurut Ahmad al-Hasyimy mempunyai dua jenis
, yaitu
kinayah qaribah dan kinayah ba’idah.
Kinayah qaribah
ialah jika transformasi makna dari makna asal kep
ada
makna lazimnya tidak melalui media atau perantara
yang berkesinambungan.
Contoh :
طويل النجا - د ساد عشيرته أمردا
رفيع العماد
Ungkapan “
رفيـع العمـاد
dan
طويـل النجـاد
“ pada asalnya bermakna
tinggi
tiangnya
dan
panjang sarung pedangnya
. Dalam
kinayah
lafadz-lafadz tersebut
bermakna pemberani, terhormat, dan dermawanan. Ungk
apan
tinggi tiangnya
dan
panjang sarung pedangnya
sudah langsung bermakna terhormat dan pemberani.
Di sini kita melihat bahwa perpindahan dari makna
asal kepada makna
kinayah
tanpa memerlukan wasilah atau perantara berupa lafa
dz-lafadz atau ungkapan-
ungkapan lain yang dapat menjelaskannya. (Ahmad Al
-Hasyimy,1960:348)
Jenis kedua dari kinayah sifat adalah
kinayah baidah.
Dalam
kinayah
jenis ini transformasi makna dari makna asal kepad
a makna
kinayah
melalui
beberapa lafadz atau ungkapan yang berkesinambungan
. Ungkapan-ungkapan
tersebut berfungsi sebagai penjelas dan katalisator
antara makna asal dan makna
7
kinayah
. Contoh, ungkapan “
كثير الرماد
“. Ungkapan ini pada asalnya bermakna
banyak abunya
. Kemudian ungkapan ini digunakan untuk menyifati s
eseorang
yang memiliki sifat
dermawan
. Proses perpindahan makna dari makna asal kepada
makna
kinayah
memerlukan beberapa lafadz atau ungkapan untuk
menjelaskannya. Perjalanan makna dari
banyak abunya
kepada sifat
dermawan
melalui ungkapan-ungkapan sbb :
1) Seseorang yang banyak abunya berarti banyak men
yalakan api;
2) Orang yang banyak menyalakan api berarti banyak
memasak;
3) Orang yang banyak memasak berarti banyak tamunya
;
4) Orang yang banyak tamunya biasanya orang dermawa
n.
Kedua,
, kinayah mausuf
.
Suatu ungkapan disebut
kinayah mausuf
apabila yang menjadi
mukna
anhunya
atau lafadz yang dikinayahkannya adalah mausuf. La
fadz-lafadz yang
dikinayahkan pada jenis
kinayah
ini adalah maushuf, seperti ungkapan “
أبناء النيل
“ yang bermakna
bangsa Mesir
. Ungkapan tersebut merupakan maushuf (dzat)
bukannya sifat.
Kinayah
mausuf mempunyai dua jenis, yaitu kinayah yang
mukna anhu-
nya diungkapkan hanya dengan satu frase, seperti un
gkapan “
مـوطن الأسـرار
“
sebagai kinayah dari lafadz “
القلـب
“ ; dan
kinayah
yang
mukna anhu-
nya
diungkapkan dengan ungkapan yang lebih dari satu f
rase, seperti ungkapan “
حى
مستوى القامة عريض الأظفار
“ sebagai kinayah dari lafadz “
الإنسـان
“. Pada
jenis
kinayah
ini sifat-sifat tersebut harus dikhususkan untuk m
ausuf, tidak untuk
yang lainnya. (Ahmad al Hasyimy,1960:349)
Ketiga,
kinayah nisbah
.
Suatu bentuk ungkapan
Kinayah
dinamakan
Kinayah Nisbah
apabila
lafadz yang dikinayahkan bukan merupakan sifat dan bukan pula merupakan
maushuf, akan tetapi merupakan penisbahan sifat kepada mausuf. Contoh :
Keagungan berada di kedua pakaianmu, dan kemuliaan itu memenuhi kedua baju
burdahmu.
Pada syair di atas pembicara bermaksud menisbahkan keagungan dan
kemuliaan kepada orang yang diajak bicara. Namun, ia tidak menisbahkan kedua
sifat itu secara langsung kepadanya, melainkan kepa
da sesuatu yang berkaitan
dengannya, yakni dua pakaian dan dua selimut
. kinayah
yang berupa penisbatan
seperti ini dinamakan dengan
kinayah nisbah.
C. Metodologi
Dengan melihat karakteristik permasalahannya penelitian ini bersifat
kualitatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengungk
ap secara mendalam
masalah-masalah yang berkaitan hal ihwal ayat-ayat
kinayah dalam Al-Quran.
Sesuai dengan judul masalah, penelitian ini diawali dengan mendeskripsikan ayat-ayat yang mengandung aspek
kinayah
. Setelah itu dicari keterangan-keterangan para mufassir yang diambil dari kitab-kitab tafsir yang
populer dan refresentatif. Setelah diketahui penafs
iran-penafsiran para mufassir
terhadap ayat-ayat tersebut, kemudian diklasifikasi
berdasarkan kategori-kategori
yang berlaku dalam kaidah ilmu Balaghah.
Tahap berikutnya peneliti menganalisis ungkapan-ungkapan kinayah yang terdapat dalam syair-syair dan amtsal-amtsal. Bagai mana hakikat makna ungkapan kinayah
dalam kitab-kitab tersebut. Dengan menganalisis ap
likasi ungkapa kinayah
dalam penggunaannya di masyarakat diharapkan dapatmembantu mengungkap hakikat makna dari jenis ayat tersebut.
D. Hasil dan Pembahasan
1. Hasil
Tema dalam penelitian ini adalah ‘ Perbedaan tinjauan kinayah pada ayat-
ayat al-Quran dan implikasinya bagi pengajaran bal
aghah ‘. Sedangkan fokus kajiannya adalah ayat-ayat kinayah dalam al-Quran.
adalah aspek bahasa.
Bahasa Al-Quran diakui oleh para pakar memiliki gay
a bahasa yang sangat indah.
Di dalamnya terdapat keharmonisan dalam pemilihan k
ata baik dari segi jumlah
maupun ketepatan maknanya.
Salah satu aspek gaya bahasa yang cukup menarik un
tuk dikaji adalah
kinayah
. Di dalam al-Quran terdapat ayat-ayat yang mengan
dung aspek
kinayah,
jumlahnya cukup beragam sesuai dengan tinjauan dan
analisa dari masing-masing
para ahli. Menurut Wahbah Zuhaili (al-Munir,1991:10
) terdapat tujuh puluh satu
2
ayat
kinayah
dalam al-Quran. Sedangkan as-Shobuny (Shafwatut-
Tafasir,1986:25) menyebutkan terdapat sekitar enam
puluh empat ayat.
Ayat-ayat al-Quran yang mengandung aspek
kinayah
merupakan salah
satu jenis ayat yang cukup pelik dan krusial di kal
angan para mufassir. Pada ayat
ini para mufassir sering berbeda pendapat mengenai
makna yang dikandungnya.
Perbedaan penafsiran tersebut karena secara teoriti
k wacana kinayah bisa
ditafsirkan secara
hakiki
(denotatif) maupun
majazi
(konotatif) (Bakry Syaikh
Amin,1982:153).
Pada ayat-ayat
kinayah
yang berkaitan dengan hukum atau keimanan
ayat-ayat tersebut mempunyai implikasi yang besar p
ada pemaknaannya, sehingga
jenis ayat ini telah menjadi wacana paling menarik
dan sulit dipertemukan di
antara madzhab-madzhab besar baik dalam bidang fiqh
maupun aqidah.
Kesulitan para mufassir dalam mempertemukan kedua
madzhab
penafsiran tersebut (madzhab denotatif dan madzhab
konotatif) karena masing-
masing madzhab mempunyai sandaran, baik dari al-Qur
an maupun al-Hadits.
Masing-masing madzhab kadang-kadang mempunyai argum
en yang sama
validitasnya.
Untuk itu diperlukan tinjauan lain yang dapat mem
berikan kejelasan tafsir
yang sesungguhnya dari ayat tersebut. Tinjauan lain
yang akan dicoba oleh
peneliti adalah tinjauan dari aspek kaidah ilmu
balaghah
. Bagaimana ilmu ini
menempatkan ayat
kinayah
dalam konteks hermeneutikanya. Bagaimana
ungkapan-ungkapan
kinayah
ditafsirkan dalam praktek berbahasa pada umumnya.
Apakah mengambil makna konotatif atau denotatif.
Ditemukannya kecenderungan umum penggunaan makna t
ertentu pada
ungkapan-ungkapan
kinayah
akan bisa membantu memahami jenis ayat tersebut
dalam al-Quran. Penelitian ini diharapkan dapat mem
berikan alternatif pemecahan
dalam menafsirkan ayat-ayat
kinayah
yang selama ini telah memunculkan
berbagai madzhab penafsiran baik di bidang hukum ma
upun aqidah.
Dari paparan di atas muncullah pertanyaan, ‘ Bagai
mana hakikat makna
kinayah dalam al-Quran ? ‘. Pertanyaan penelitian t
ersebut dapat dirinci sbb :
3
Berapakah jumlah ayat
kinayah
dalam al-Quran?; Bagaimana perkembangan
makna
kinayah
dalam kitab-kitab tafsir?; Ayat
kinayah
manakah di dalam al-
Quran yang sering menjadi perselisihan di kalangan
para mufassir dan ulama?;
Apakah yang menyebabkan para mufassir berbeda penda
pat dalam memahami
ayat-ayat
kinayah
?; dan bagaimana implikasi hasil dari penelitian in
i terhadap
pengajaran mata kuliah Balaghah?
B. Kajian Pustaka
1. Hakikat Kinayah dan Kategorisasinya
Ilmu
balaghah
(retorika bahasa Arab) membahas tiga kajian utama.
Ketiga
bidang kajian tersebut masing-masing dibahas dalam
ilmu
ma’ani
(pragmatik),
ilmu
bayan
(kajian gaya bahasa), dan ilmu
badi’e
(stilistika).
Kinayah
merupakan salah satu bahasan dari kajian ilmu
bayan
. Kedua
bahasan lainnya dari ilmu tersebut adalah
tasybih
dan
majaz
.
2. Perkembangan Konsep Kinayah
Dalam ilmu
bayan
(kajian gaya bahasa Arab) terdapat tiga model
pengungkapan ujaran. Pertama
, tasybih
yaitu penyerupaan sesuatu dengan
sesuatu yang lain karena ada titik persamaan. Pada
model ini
thorofain
(kata yang
diserupakan dan kata yang diserupai) disebutkan den
gan jelas. Contoh :
أنت كالأسد
فى الشجاعة
(Engkau bagaikan singa dalam keberaniannya). Pada m
odel pertama ini
musyabbah
(kata yang diserupakan)
yaitu kata ‘
أنـت
‘ dan
musyabbah bih
(kata
yang diserupai) yaitu kata ‘
الأسد
‘ keduanya disebutkan.
Kedua
, majaz
yaitu model pengungkapan seperti pada
tasybih
, akan tetapi
salah satu dari
thorofain
-nya dihilangkan, baik itu
musyabbah
(kata yang
diserupakan) atau
musyabbab bih
(kata yang diserupai). Contoh :
يخطب الأسد أمـام
الممـبر
(Singa itu sedang berpidato di atas mimbar : maks
udnya, orang yang
4
pemberani seperti singa sedang berpidato di atas mi
mbar). Pada model ini
musyabbah
-nya yaitu kata ‘
الرجل
‘ dihilangkan.
Ketiga,
kinayah
yaitu model pengungkapan yang memiliki arti konota
tif.
Kinayah memiliki kesamaan dengan majaz karena kedua
nya bermakna konotatif.
Perbedaannya adalah kinayah bisa difahami atau meng
andung makna denotatif.
Sedangkan pada majaz tidak diperbolehkan mengambil
makna denotatif.
Menurut al Hasyimy (t.t :345)
kinayah
secara leksikal bermakna
tersirat
.
Sedangkan secara terminologi kinayah adalah suatu u
jaran yang maknanya
menunjukkan pengertian pada umumnya (konotatif), ak
an tetapi bisa juga
dimaksudkan untuk makna denotatif. (Hasyimy, t.t :
345)
Definisi di atas merupakan definisi terkini yang d
isepakati oleh para pakar
balaghah. Sebelum definisi di atas terdapat pengert
ian
kinayah
yang dikemukakan
oleh para pakar yang menunjukkan sejarah perkemban
gan istilah tersebut.
Istilah
kinayah
dalam khazanah ilmu balaghah untuk pertama kaliny
a
diperkenalkan oleh Abu Ubaidah pada tahun
209 H di dalam kitabnya
Majazul Quran
. Menurut pendapatnya,
kinayah
dalam istilah ahli bahasa
khususnya para ahli
nahwu
(tata bahasa Arab) bermakna
dhomir
(kata ganti).
Beliau mencontohkan pengertian tersebut di dalam ki
tabnya dengan ayat-ayat
sbb:
حتى توارت بالحجاب
)
ص
:
32
(
]
[
Sampai ( kuda yang kau cintai) itu hilang dari
pandanga
كل من عليها فان
[
Segala yang ada di bumi akan hancur
]
Pada ayat pertama Allah menjadikan dhomir mustatir
(kata ganti yang tidak
ditampakkan) sebagai
kinayah
dari kata ‘
الشـمس
‘. Sedangkan pada ayat kedua
Allah menjadikan dhomir (
هـا
) sebagai
kinayah
dari kata “
الأرض
“. Menurut
beliau,
kinayah
berarti suatu kata yang
tidak disebut secara jelas pada suatu teks kalimat.
(Abdul Aziz Atiq,1985:204)
5
Sedangkan al-Jahidz (255 H.) mendefinisikan
kinayah
dengan
makna yang
tersirat.
Dalam pandangannya,
kinayah
merupakan kebalikan dari
fasahah
dan
sarih
(kata-kata yang jelas maknanya). Dengan pengertian
ini dia telah
mendefinisikan
kinayah
secara umum. Dia tidak membedakan istilah
tasybih,
majaz,
dan
kinayah
.
Linguis lainnya yang mencoba membahas masalah
kinayah
adalah murid
al-Jahidz, yaitu Muhammad bin Yazid Al-Mubarrid (28
5 H.). Beliau membahas
masalah ini dalam kitabnya
al-Kamil
. Dalam kitab tersebut beliau mendefinisikan
kinayah
dengan tiga pengertian.
Pertama
, untuk menutupi makna yang
sebenarnya,;
kedua
, untuk mengagungkan; dan
ketiga
untuk menghindari kata-
kata yang kotor.
Pengertian
kinayah
juga dikemukakan oleh Quddamah bin Ja’far. Di
dalam bukunya
Naqdusy Syi’ri
dia menjelaskan,
kinayah
adalah ungkapan yang
bermakna
irdaf
(mencari kata-kata lain yang semakna dengan kata-ka
ta
dimaksud). Dia mencontohkan penggunaan ungkapan “
بعيدة مهـوى القـرط
“ yang
terdapat dalam sebuah syair. Ungkapan tersebut mer
upakan pengganti dari
ungkapan “
طـول العنـق
“. Kedua ungkapan tersebut memiliki makna yang sa
ma.
(Quddamah,t.t:113)
Konsep
kinayah
sedikit mengalami kesempurnaan pada masa Abul Husa
in
Ahmad bin Faris (395 H.). Di dalam kitabnya
As-Shohiby
dia berpendapat,
dengan melihat tujuannya
kinayah
mempunyai dua jenis, yaitu
kinayah
taghtiyah
dan
tabjil
.
kinayah
jenis pertama digunakan untuk menyebut sesuatu den
gan
menutupi namanya sebenarnya agar terlihat baik da
n indah. Pengungkapan
seperti ini bertujuan untuk memulyakan orang atau
sesuatu yang disebutnya.
Sedangkan
kinayah
jenis kedua bertujuan agar orang atau sesuatu yang
disebutkan
terhindar dari kehinaan, seperti ungkapan “
أبو فلان
“.
3. Kategorisasi Kinayah
6
Kinayah
dalam kajian ilmu balaghah mempunyai beberapa ka
tegori.
Jenis-jenis tersebut dapat dilihat dari dua aspek.
Pertama
, dari aspek
mukna
‘anhunya
(kata-kata yang dikinayahkan);
kedua
, dari aspek
wasait
(media) nya.
Para pakar balaghah membagi
kinayah
dari aspek
mukna anhu-
nya
menjadi tiga jenis :
Pertama,
kinayah sifat.
Kinayah sifat
adalah pengungkapan sifat tertentu secara tidak
jelas,
melainkan dengan isyarat atau ungkapan yang dapat m
enunjukkan kepada
maknanya yang umum. Istilah sifat di sini berbeda
dengan istilah sifat yang
terdapat pada ilmu nahwu (tata bahasa Arab). Sifat
sebagai salah satu
karakteristik
kinayah
mempunyai makna sifat dalam pengertian maknawinya
,
seperti kedermawanan, keberanian, panjang, keindaha
n, dan sifat-sifat lainnya.
Sifat di sini merupakan lawan dari dzat. (Bakri Sya
ikh Amin, 1982 : 159)
Kinayah
sifat menurut Ahmad al-Hasyimy mempunyai dua jenis
, yaitu
kinayah qaribah dan kinayah ba’idah.
Kinayah qaribah
ialah jika transformasi makna dari makna asal kep
ada
makna lazimnya tidak melalui media atau perantara
yang berkesinambungan.
Contoh :
طويل النجا - د ساد عشيرته أمردا
رفيع العماد
Ungkapan “
رفيـع العمـاد
dan
طويـل النجـاد
“ pada asalnya bermakna
tinggi
tiangnya
dan
panjang sarung pedangnya
. Dalam
kinayah
lafadz-lafadz tersebut
bermakna pemberani, terhormat, dan dermawanan. Ungk
apan
tinggi tiangnya
dan
panjang sarung pedangnya
sudah langsung bermakna terhormat dan pemberani.
Di sini kita melihat bahwa perpindahan dari makna
asal kepada makna
kinayah
tanpa memerlukan wasilah atau perantara berupa lafa
dz-lafadz atau ungkapan-
ungkapan lain yang dapat menjelaskannya. (Ahmad Al
-Hasyimy,1960:348)
Jenis kedua dari kinayah sifat adalah
kinayah baidah.
Dalam
kinayah
jenis ini transformasi makna dari makna asal kepad
a makna
kinayah
melalui
beberapa lafadz atau ungkapan yang berkesinambungan
. Ungkapan-ungkapan
tersebut berfungsi sebagai penjelas dan katalisator
antara makna asal dan makna
7
kinayah
. Contoh, ungkapan “
كثير الرماد
“. Ungkapan ini pada asalnya bermakna
banyak abunya
. Kemudian ungkapan ini digunakan untuk menyifati s
eseorang
yang memiliki sifat
dermawan
. Proses perpindahan makna dari makna asal kepada
makna
kinayah
memerlukan beberapa lafadz atau ungkapan untuk
menjelaskannya. Perjalanan makna dari
banyak abunya
kepada sifat
dermawan
melalui ungkapan-ungkapan sbb :
1) Seseorang yang banyak abunya berarti banyak men
yalakan api;
2) Orang yang banyak menyalakan api berarti banyak
memasak;
3) Orang yang banyak memasak berarti banyak tamunya
;
4) Orang yang banyak tamunya biasanya orang dermawa
n.
Kedua,
, kinayah mausuf
.
Suatu ungkapan disebut
kinayah mausuf
apabila yang menjadi
mukna
anhunya
atau lafadz yang dikinayahkannya adalah mausuf. La
fadz-lafadz yang
dikinayahkan pada jenis
kinayah
ini adalah maushuf, seperti ungkapan “
أبناء النيل
“ yang bermakna
bangsa Mesir
. Ungkapan tersebut merupakan maushuf (dzat)
bukannya sifat.
Kinayah
mausuf mempunyai dua jenis, yaitu kinayah yang
mukna anhu-
nya diungkapkan hanya dengan satu frase, seperti un
gkapan “
مـوطن الأسـرار
“
sebagai kinayah dari lafadz “
القلـب
“ ; dan
kinayah
yang
mukna anhu-
nya
diungkapkan dengan ungkapan yang lebih dari satu f
rase, seperti ungkapan “
حى
مستوى القامة عريض الأظفار
“ sebagai kinayah dari lafadz “
الإنسـان
“. Pada
jenis
kinayah
ini sifat-sifat tersebut harus dikhususkan untuk m
ausuf, tidak untuk
yang lainnya. (Ahmad al Hasyimy,1960:349)
Ketiga,
kinayah nisbah
.
Suatu bentuk ungkapan
Kinayah
dinamakan
Kinayah Nisbah
apabila
lafadz yang dikinayahkan bukan merupakan sifat dan bukan pula merupakan
maushuf, akan tetapi merupakan penisbahan sifat kepada mausuf. Contoh :
Keagungan berada di kedua pakaianmu, dan kemuliaan itu memenuhi kedua baju
burdahmu.
Pada syair di atas pembicara bermaksud menisbahkan keagungan dan
kemuliaan kepada orang yang diajak bicara. Namun, ia tidak menisbahkan kedua
sifat itu secara langsung kepadanya, melainkan kepa
da sesuatu yang berkaitan
dengannya, yakni dua pakaian dan dua selimut
. kinayah
yang berupa penisbatan
seperti ini dinamakan dengan
kinayah nisbah.
C. Metodologi
Dengan melihat karakteristik permasalahannya penelitian ini bersifat
kualitatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengungk
ap secara mendalam
masalah-masalah yang berkaitan hal ihwal ayat-ayat
kinayah dalam Al-Quran.
Sesuai dengan judul masalah, penelitian ini diawali dengan mendeskripsikan ayat-ayat yang mengandung aspek
kinayah
. Setelah itu dicari keterangan-keterangan para mufassir yang diambil dari kitab-kitab tafsir yang
populer dan refresentatif. Setelah diketahui penafs
iran-penafsiran para mufassir
terhadap ayat-ayat tersebut, kemudian diklasifikasi
berdasarkan kategori-kategori
yang berlaku dalam kaidah ilmu Balaghah.
Tahap berikutnya peneliti menganalisis ungkapan-ungkapan kinayah yang terdapat dalam syair-syair dan amtsal-amtsal. Bagai mana hakikat makna ungkapan kinayah
dalam kitab-kitab tersebut. Dengan menganalisis ap
likasi ungkapa kinayah
dalam penggunaannya di masyarakat diharapkan dapatmembantu mengungkap hakikat makna dari jenis ayat tersebut.
D. Hasil dan Pembahasan
1. Hasil
Tema dalam penelitian ini adalah ‘ Perbedaan tinjauan kinayah pada ayat-
ayat al-Quran dan implikasinya bagi pengajaran bal
aghah ‘. Sedangkan fokus kajiannya adalah ayat-ayat kinayah dalam al-Quran.